Analisis :
I. UU Migas No.22/2001
“Dihilangkan penguasaan/kedaulatan dan kepemilikan Negara atas
asset/kekayaan sumber daya alam migas serta diserahkan pemenuhan kebutuhan
bahan bakar minyak dan gas dalam negeri berikut harga jualnya sepenuhnya pada
mekanisme pasar. Pemerintah diarahkan untuk berperan sebagai regulator dan
pengawasan yang baik dan fair.”
Dalam undang-undang tersebut,
pemerintah tidak bisa menentukan harga BBM. Dan harga BBM sepenuhnya ditangan
perusahan asing maupun dalam negeri. Ini sangat berdampak buruk, karena semakin
banyak penguasaan perusahaan asing maka semakin memperkecil produktivitas
nasional dan terjadilah krisis BBM. Dimana suatu perusahaan tujuan utamannya
adalah untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, sehingga kesejahteraan
masyarakat kurang diperhatikan. Dan ini sejalan dengan pendapat, Fariedwijdan (2008) penyebab krisis
BBM di Indonesia adalah liberalisasi pengelolaan migas. Yang berarti, Indonesia
membebaskan seluruh perusahaan asing maupun swasta untuk berinvestasi di bidang
minyak dan gas tanpa memperhatikan industri perminyakan nasional dan daya beli
masyarakat. Sehingga, pemerintah hanya bisa menentukan
seberapa besar dana yang disubsidi untuk BBM disetiap tahunnya. Dan kita bisa menarik kesimpulan,
bahwa UU Migas No.22/2001 menyebabkan kilang-kilang minyak di Indonesia
didominasis oleh perusahan minyak asing seperti Chevron, Shell, Unocal dan
Total. Dimana dari penghasilan perusahaan itu, Indonesia hanya mendapatkan 50%
dari keuntungan. Jauh lebih kecil dibandingkan perusahaan dalam negeri, apa lagi milik negara.
II. Berdasarkan Badan Pusat Statistik
Indonesia,
“ekspor migas naik sebesar 21,50 persen,
yaitu dari US$2.282,6 juta menjadi US$2.773,4 juta. Lebih lanjut peningkatan ekspor
migas disebabkan oleh meningkatnya ekspor minyak mentah sebesar 22,62 persen
menjadi US$963,9 juta dan ekspor hasil minyak sebesar 31,64 persen menjadi
US$415,8 juta, demikian juga ekspor gas meningkat sebesar 18,04 persen menjadi
US$1.393,7 juta.” Sehingga dapat disimpulkan, Indonesia mengalami peningkatan
ekpor minyak mentah ke negara-negara luar. Padahal, tujuan utama untuk
mengekspor adalah menambah devisa suatu Negara. Memang benar kegiatan ini
menambah devisa suatu negara, akan tetapi keuntungan yang didapat jauh lebih kecil dibanding
mengolah minyak mentah terlebih dahulu. Selain itu, harga BBM di Indonesia ditentukan berdasarkan harga
minyak rata-rata dunia, ketika harga minyak dunia naik, maka berdampak pada
harga minyak di Indonesia. Dan di tambah lagi dengan kecilnya nominal rupiah di
mata dunia. Sehingga terjadilah ketidak stabilan harga minyak di Indonesia. Jika terjadi
lonjakan yang begitu besar di dunia, maka harga minyak di Indonesia akan naik dan dana subsidi BBM akan meningkat sehingga dapat terjadilah krisis BBM.
Solusi :
http://finance.detik.com |
Untuk jangka menengah kita dapat menggunakan energi terbarukan yang jauh lebih terjangkau untuk mendapatkannya, seperti bioethanol sebagai pengganti bensin yang diperoleh dari tanaman tebu, jagung, sagu dan tanaman ini sangat umum dijumpai di indonesia. Lalu biodiesel sebagai pengganti solar. Biodiesel sangat mudah didapatkan, dapat dihasilkan dari minyak tumbuhan sawit dan kelapa. Baiknya, biodiesel sudah mulai digunakan di Indonesia sebagai alaternatif solar.
Dan untuk jangka panjang, mobil listrik salah satu teknologi yang dapat mengurangi penggunaan BBM. Karena selain mobil listrik tidak membutuhkan bensin/solar, mobil ini juga dapat mengurangi polusi udara yang dihasilkan oleh knalpot karena dari hasil pembakaran. Akan tetapi,mobil listrik perlu diisi yang tidak seperti mengisi bensin, tentu pemerintah harus menyediakan tempat pengisian yang aman, efisien dan hemat energi. Dengan itu, Indonesia bisa memanfaat panas bumi untuk menggerakan generator menjadi pembangkit listrik di tempat pengisian mobil listrik.
Refrensi :
-
Badan
Pusat Statistik Indonesia (http://www.bps.go.id)
-
http://digilib.its.ac.id
-
http://fariedwijdan.wordpress.com
- http://io.ppijepang.org
- http://io.ppijepang.org